Label

Selasa, 19 November 2013

meneguk kepahitan

long time not opening blog, nemu draft ini. Ga nyangka dulu pernah bisa bikin tulisan kaya gini. From the galau time, hehee..


perpustakaan
rabu, 11 agustus 2010

lebih dari 1 jam, saya duduk di depan komputer sambil menunggu teman yang tak juga datang mengantarkan file. File yang saya perlukan untuk sidang diploma saya minggu depan (wish me luck. Amiin). Setelah bosan membuka situs pertemanan yang sudah cukup lama dikenal dan sudah memiliki pesaing berat tapi masih saja banyak diminati (disingkat :fb) dan beberapa situs lainnya, saya memutuskan untuk membuka blog yang sudah lama tidak saya sentuh (sori klo lebay).
Dan saya mulai membuka ingatan saya pada 29 Juli 2010, hari di mana saya menelan kepahitan (secara kiasan dan secara harfiah). Pada hari itu, saya merasakan telah kehilangan semua yang saya miliki. Tak ada yang tersisa dari saya. Saya merasa benar-benar sendirian.
Ya, kalau dipikir sekarang memang agak berlebihan sih.



Penasaran dengan lanjutannya? Saya juga lupa dulu sebenernya mau nulis apa :p. Yang jelas alhamdulillah waktu itu lulus sidang diploma III dengan nilai baik. Dan 3 taun setelah itu, agustus 2013, saya lulus sidang diploma IV dengan nilai baik juga :)
Tp bener kata si Titi Rajo Bintang, galau memicu proses kreatif. Jadi pengen nulis lagi...

untuk apa?

mungkin saatnya untuk diam sejenak daN Merenung
saya yang memiliki kebebasan itu
namun ingin mengikatkannya pada ambisi
ataukah ini naluri?
entahlah
sunyi mungkin menjawabnya
dan staganasi yang menjelaskannya
sebuah tanya, "untuk apa?"

Rabu, 25 Mei 2011

Memohon pada waktu

mengapa waktu tak pernah mau menunggu?
meski kita memohon sambil berlutut
mengapa waktu tak pernah mau berhenti?
dengan kejam selalu berlalu pergi, meninggalkan kegelisahan hati

Duhai waktu, kasihanilah aku
yang tengah lelah menjalani detik dan menit dalam hidupku
bisakah aku tetap di sini?
membilas lelah ini hingga masa yang tak kuketahui
tapi jangan tinggalkan aku..

Tidak, jawabmu.

Tak pernah mau aku menunggu
tidak pada seorangpun, begitu juga padamu
aku tak pernah berhenti,karena itulah sifatku
mengapa kau merajuk?
karena gelisah di hatimu?

bagiku pilihan hanya satu, bergerak maju
begitu juga bagimu, pilihanmu hanyalah menjalani aku
namun bagimu ada dua pilihan dalam menjalaninya,
bergerak bersamaku, atau tertinggal olehku

Dan dengan angkuh engkau berlalu pergi.
Lagi.

Selasa, 24 Mei 2011

Nasi

Di atas piring seorang Indonesia ada nasi, lauk, sayuran dan lain-lain
Kadang nasi itu bersama sepotong ayam goreng
lain waktu bersama dendeng sapi
tapi bisa juga nasi itu bersama sepotong tahu dan tempe
Bagaimanapun, nasi itu selalu ada di sana
Karena bagi kebanyakan orang Indonesia, belum dikatakan makan kalau belum makan nasi

Ikan bakar itu istimewa,
bebek peking itu mewah,
namun bahkan dengan lobster yang luar biasa sekalipun,
tanpa nasi, makan kehilangan esensinya

Dengan taburan garam dan kerupuk, jika nasi telah hadir di sana, maka syarat wajibnya telah terpenuhi
karena nasilah yang membuat kenyang
karena nasi sumber energi

And on my plate of life, you are my rice...

Jumat, 26 Februari 2010

Dream versus Future

Wah.. dah lama ga ngepost neh. Blogger macam apa saia ini, ngepost sebulan sekali juga engga *sigh*. Ok, kali ini saia pengen sedikit nulis tentang masa depan. Tiap orang pasti punya pandangan yang beda-beda soal masa depan. Yang ini adalah masa depan versi saia.

Ngomong soal masa depan berarti ngomong soal rencana. Masa depan kan harus direncanakan, tul ga? Ya ga semua orang mikir kaya gitu sih, ada juga yang ngejalanin hidup tuh ngalir aja. Ga kepengen yang neko-neko kalo kata orang jawa. Tapi banyak orang yang berpikir kaya gitu. Paling engga, kita pasti punya angan-angan kan? Waktu kecil mungkin kita kaya gini : “Ntar klo udah gede mau jadi dokter ah!”. Nah, semakin gede angan-angannya juga berubah. Misalnya, “lulus SMA pengen dapet beasiswa kuliah di luar negeri!” atau “ saya kepengen bikin perusahaan sendiri!”. Banyak angan-angan yang kita jadiin target hidup kita yang sering disebut “rencana masa depan”.

Di antara sekian banyak orang yang punya rencana masa depan, ada yang terwujud ada juga yang engga. Nah kalo saya termasuk yang engga. Waktu saya SMP saya punya cita-cita masuk SMAN 3 Bandung (kalo orang Bandung pasti tau deh kalo itu SMA negeri favorit sebandung raya). Selama 3 tahun di SMP, saya yakin kalo saya bakalan masuk SMA 3, terus kuliah di jurusan kedokteran, terus jadi dokter deh. Tapi ternyata cita-cita itu ga terwujud, nilai ujian akhir saya kurang dikit buat masuk SMA 3. Sebenernya bisa masuk tetangganya sih (SMA 5, yang adalah SMA negeri favorit kedua di Bandung), tapi karena nurutin kata orang tua saya ga jadi masuk SMA dan malah masuk SMK 13 (Analis Kimia).

Karena rencana masa depan pertama saya gagal, saya jadi harus ganti rencana kan.. Nah, saya akhirnya ‘menemukan’ rencana masa depan yang baru. Kuliah di Jepang dengan program beasiswa. Selama saya di SMK, saya meyakini kalo masa depan saya adalah kuliah di Jepang dengan program beasiswa. Saya berusaha keras supaya impian saya (ceile….) bisa tercapai. Belajar..belajar..belajar… dan ga lupa berdoa (of course). Saya berulang-ulang mencoba soal-soal tes seleksi beasiswa. Sampai akhirnya saya dapet nilai UAN tertinggi satu sekolah (ga maksud nyombong lho, hehe..), saking saya berusaha keras untuk memenuhi persyaratan ikut program beasiswa ke Jepang. Tapi lagi-lagi saya gagal, gara-gara persyaratan dari kedutaan yang saya kirim lewat pos kayanya ga nyampe. Miris banget ya, perjuangan saya bertahun-tahun gagal cuma gara-gara kiriman lewat pos engga nyampe. Dan waktu saya mau daftar lagi tahun berikutnya, standar nilainya naik drastis dan nilai ujian saya udah ga bisa lagi memenuhi persyaratan itu T.T

Dua kali tuh cita-cita saya ga kesampean, dan yang kedua ini bikin saya down banget. Saya sempet ga tau saya mau ngapain lagi. Hal yang saya yakinin bakal jadi masa depan saya ternyata ngga terjadi. Abis itu saya sempet kerja setaun, dan perasaan saya waktu itu idup tuh suram banget. Rasanya kaya ada di dasar jurang. Idup berasa kaya zombie aja, ga ada semangat hidup sama sekali. Bangun tidur, berangkat kerja, pulang kerja, tidur lagi. Gitu terus setiap hari. Terperangkap dalam rutinitas fisik tanpa jiwa yang terlibat di dalamnya. Intinya, ga ada impian apapun lagi.

Akhirnya saya mutusin untuk kuliah untuk bangkit dari keterpurukan itu. Saya sengaja milih jurusan yang ngga ada hubungannya sama sekali dengan latar belakang pendidikan di SMK untuk ‘membuang’ masa lalu saya yang pahit, dan mulai lagi dari nol. Sampai sekarang saya masih kuliah di jurusan Teknik Perancangan Manufaktur (ga nyambung kan sama kimia?)

Sekarang, saya udah lepas dari kehidupan ‘zombie’ saya. Saya menikmati kehidupan kuliah dan bersosialisasi dengan teman-teman saya di kampus. Saya juga punya sebuah ‘cerita baru’ yang mungkin ga akan saya alami seandainya saya jadi kuliah di Jepang. Orang-orang yang saya temui bakal beda dan ceritanya juga bakal beda banget.

Cuman, ada satu hal jelek (menurut saya) yang saya belum bisa lepas dari itu. Saya jadi takut untuk punya “rencana masa depan”. Bisa dibilang saya trauma punya harapan tinggi-tinggi. Saya takut kalo saya bermimpi terlalu tinggi ntar jatohnya sakit banget, kaya yang udah pernah saya alamin sebelumnya. Saya jadi ngejalanin hidup gitu aja, nyaris ga ada harapan tinggi. Yang penting lulus, terus kalo udah lulus kerja, terus berkeluarga. Ya udah gitu aja. Tanpa mimpi seperti mimpi-mimpinya Ikal di Sang Pemimpi. Standar.

Ternyata, hidup tanpa mimpi itu hambar rasanya. Kaya sayur tanpa garam (halah… -_-‘). Padahal kan Andrea Hirata bilang di novelnya “Bermimpilah! Karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu”. Tapi, saya masih takut untuk punya mimpi yang tinggi.

Bertolak belakang dengan seseorang yang saya kenal, yang sangat mempercayai kekuatan dari mimpi. Semua berawal dari mimpi, katanya. Dia berusaha keras memperjuangkan mimpi-mimpinya. Di satu sisi saya iri. Saya melihat diri saya sendiri beberapa tahun yang lalu pada dia, ketika mimpi-mimpi saya menggerakkan hidup saya. Hidup dengan mimpi seingat saya adalah hari-hari yang benar-benar ‘hidup’. Sayang, saya masih belum bisa sembuh dari ketakutan saya untuk kembali bermimpi.

Saya yakin, ga sedikit orang-orang yang menjalani hidup ‘ngalir aja’ kaya saya. Tapi banyak juga pemimpi-pemimpi yang berjuang mewujudkan mimpi-mimpinya seperti seseorang yang saya kenal itu. Apa yang saya jalani itu ga mutlak salah, dan apa yang teman saya jalani juga ga mutlak benar. Karena hidup itu ga hitam-putih, ada banyak ‘grey area’ yang kita temui dalam hidup. Satu hal yang saya selalu berusaha untuk yakini adalah selalu ada hikmah dalam setiap hal yang terjadi dalam hidup, baik atau buruk. Meskipun saya ga selalu bisa langsung menemukan hikmah itu, tapi hikmah itu pasti ada. Karena Tuhan selalu memberikan yang terbaik bagi hamba-Nya, tergantung sikap hamba dalam menyikapinya…

So, apapun pilihan hidup kita, saya yakin tiap orang udah berjuang dalam kehidupannya. Setiap orang memiliki ‘pertempuran’ yang harus dihadapinya sendiri, lawan yang harus dia taklukkan sendiri, dan yang paling bisa mengerti dan menghargai hal itu adalah diri kita sendiri. Karena itu untuk setiap pilihan hidup yang kita ambil, ayo kita coba untuk hargai. Lalu sedikit demi sedikit, bergeraklah menuju ke arah perubahan yang lebih baik.

Masa lalu adalah sejarah, masa depan adalah misteri, dan yang kita miliki hanyalah saat ini”. Dengan mimpi atau harapan sesederhana apapun, ayo kita jalani saat ini sebaik-baiknya… ;)

Minggu, 03 Januari 2010

a night of decision

Berat. Sesak. Seperti ada batu besar disimpan di atas dadaku.

Memoriku terputar pada pembicaraan semalam di telepon yang berlangsung sekitar 20 menit, lebih banyak diamnya ketimbang bicaranya.

Bagi orang tuaku, ini adalah masalah kecil. Masalah yang kita hadapi ini bukan masalah besar”

Mereka masih belum bisa ngasih kepercayaan buat aku

Kalo gitu, kita ambil opsi kedua. Mulai semua dari awal?”

Aku ngga tau, apa aku bisa menghadapi ini semua?”

Potongan demi potongan pembicaraan berkelebat dalam pikiranku. Keputusan itu aku ambil, sejernih dan selogis mungkin. Opsi yang dulu ga bisa aku terima itu, akhirnya ku ambil juga. Tidak mudah bagimu, aku tahu. Tidak mudah juga bagiku. Tidak mudah bagi kita.

Tapi mungkin ini yang terbaik. Tidak perlu menyalahkan apapun. Mungkin memang harus begini.

Saat aku menulis ini, mataku berkaca-kaca. Saat ini, aku merasa kakiku menjejak di antara nyata dan mimpi. Lalu aku menarik nafas panjang. “Fiuuuuuuuuh……….”. sebanyak apapun air mata yang aku tumpahkan, takkan merubah kenyataan. Mata ini juga sudah lelah menangis. Jika ia bisa berbicara pada hati, mungkin ia akan berkata “Sebanyak apa aku harus menumpahkan air mata agar kamu lega?!!”

Aku teringat pada kata-kata terkahir yang aku ucapkan di telepon semalam.

“Kalau memang jodoh, ga akan kemana

Insya Allah…”

“Insya Allah”

“Berkah terbaik mungkin saja terbungkus dalam kemasan yang terburuk. Saat ini semua masih menjadi rahasia Allah, tapi insya Allah semua akan indah pada waktunya”

“Semoga Allah meridhoi jalan yang akan kita jejaki.. Amiin..”

Sukabumi, 03 januari 2010

Malam, sekitar jam 20.30 – 21.00

Rabu, 09 Desember 2009

for myself

Acceptance

Ah...
Meratap seperti apapun tak ada gunanya
Menangis sebanyak apapun takkan merubah apa-apa
Kenyataan akan tetap seperti ini, mau terima atau tidak
Yang sudah terjadi takkan bisa diulang lagi

Terimalah saja
Bahwa kamu hanya manusia biasa,
yang lemah dengan segala keterbatasannya
tak mungkin luput dari salah dan dosa

Terimalah saja
Bahwa sesempurna apapun kamu merancang hidupmu
kesalahan mungkin saja terjadi
manusia hanya berencana, Tuhan yang menentukan
maka terimalah jika hidupmu tak sempurna, sebab kesalahan yang telah kau lakukan
Lalu maafkanlah dirimu sendiri